Tidak hanya di Ibu Kota Jakarta, praktik pelacuran di lingkungan anak
sekolah juga marak terjadi di kota seperti di Samarinda, Kalimantan
Timur (Kaltim). Faktor ekonomi, merupakan alasan utama mengapa perempuan
"bau kencur" itu mau menjadi korban.
Kasus pelacuran macam itu di
Samarinda, banyak menimpa gadis-gadis pelajar yang masih duduk di
bangku SLTP dan SLTA. Dengan membangun sindikat kecil-kecilan, mereka
menjual diri dengan harga murah.
Sebut saja Ajeng --bukan nama
sebenarnya, gadis usia 17 tahun ini masih duduk di bangku SMK swasta di
Samarinda. Ditemui di salah satu mall Samarinda, beberapa waktu lalu,
gadis berkerudung itu tampak anggun dengan balutan busana jilbab
syar’i. Kulitnya putih bersih, dan bentuk tubuhnya pun menarik.
Siapa
sangka, di balik balutan jilbab itu, dia ternyata gadis panggilan. “Ini
beneran wawancara ya mbak? Tapi nanti enggak dilaporkan ke polisi kan?”
kata dia membuka obrolan.
Seperti anak remaja seusianya, Ajeng
sejatinya suka berbelanja dan berfoya-foya. Namun apalah daya, latar
belakang keluarganya tidak mungkin melancarkan hobi belanjanya. Mall dan
makanan enak pun pernah menjadi bayang-bayang semata.
Ajeng sadar
dia bukan dilahirkan dari keluarga kaya yang punya banyak uang. “Ajeng
lahir di kota ini. Ibu sudah meninggal, Bapak sekarang kawin lagi. Jadi
Ajeng juga enggak tinggal di rumah, karena enggak cocok sama ibu tiri,”
ungkapnya pelan.
Kehidupan serba miskin membuat Ajeng merasa
terkucil. Saat semua teman sudah memiliki handphone android serba
canggih, misalnya, dia malah tidak punya hp sama sekali. Saat semua
teman bisa melancong ke mall sepulang sekolah, Ajeng hanya bisa berjalan
kaki pulang ke rumah.
“Dulu waktu SMP sama sekali enggak punya
teman. Sering diejek miskin, diceritain mirip gembel dan selalu jadi
bulan-bulanan preman yang sering nongkrong di depan sekolah. Enggak
tahan sama keadaan yang begitu, jadi sering enggak masuk sekolah,” ujar
dia.
Kesal
Rasa kesal dan tidak nyaman itu membuatnya terus
berfikir. Ajeng ingin mencari uang sendiri agar bisa sekolah dengan
menggunakan motor. Dia juga ingin sekali membeli ponsel walau dengan
harga murah.
Dengan segala usaha Ajeng berusaha mencari kerja.
Sayang, diusianya yang masih belasan, tak ada pekerjaan yang bisa
dilakukan. “Pengin banget punya motor, tapi enggak punya uang beli. Di
sekolah juga selalu kecut, tak ada jajan. Kecuali malak-malak
cowok-cowok minta traktiran. Bersyukur memang banyak yang nraktir,”
ujarnya sembari tertawa.
Suatu hari, kata dia, ada siswi dari
sekolah lain yang datang ke sekolahnya. Diketahui namanya Erna, yang tak
sengaja berpapasan dengan Ajeng. “Erna waktu itu nyariin teman sekelas
Ajeng, tapi enggak ketemu. Lama ngobrol, akhirnya Erna ngajak jajan di
warung. Dari situ hidup Ajeng mulai goyah, karena Erna menawarkan sebuah
pekerjaan yang gampang,” kata dia.
Menurut Ajeng, Erna bisa
meminjaminya uang sebesar Rp 5 juta, dan dibayar nyicil. Jika tidak
sanggup menyicil, Ajeng boleh membayar dengan cara bekerja, dan membagi
dua hasil kerjanya. “Dia bilang kerja, cuma nemani om-om ke diskotik dan
dandan yang cantik. Sebenarnya sudah tau kalau itu maksunya jual diri,
tapi Ajeng pura-pura lugu aja di depan Erna,” ujar Ajeng.
Karena
iming-iming itu, akhirnya Ajeng mengiyakan tawaran Erna. Untuk
meyakinkan Ajeng, Erna membawa Ajeng ke ATM dan menarik uang sebesar Rp 5
juta dan langsung diserahkan pada Ajeng. “Ajeng hampir pingsan lihat
uang Rp 5 juta. Banyak banget… Ajeng sampai nangis waktu itu,” sebut
Ajeng.
Pelacuran
Sebagai pebisnis, Erna memiliki ketakutan jika
Ajeng kabur. Erna kemudian mengajak Ajeng ke sebuah kos-kosan hingga
sore, agar memulai pekerjaannya. “Ajeng inget banget, tanggal 2 Februari
2011, jam 5 sore, Ajeng memulai pekerjaan Ajeng. Ajeng dipinjami Erna
baju dan didandani. Ajeng kemudian dibawa Erna ke Rumah Makan Padang di
sekitaran Jalan Wahid Hasyim, dan bertemu dua om-om yang kenalan Erna,”
ungkap dia.
Obrolan ringan terjadi, Ajeng hanya duduk makan dan
mendengarkan Erna dan dua om-om itu tawar-menawar. Keperawanan Ajeng
ditawar Rp 3 juta, dan bonus sebuah ponsel merek Nokia. Setelah deal,
Ajeng lalu diboyong salah satu om yang diketahui bernama Feri.
Sedangkan
Erna berjalan dengan om yang bernama Adi. Mereka terpisah. “Mau nangis
waktu itu, dalam hati bilang, seandainya ibu masih hidup, pasti Ajeng
tidak begini. Perawan Ajeng harganya cuma Rp 3 juta?” kata dia.
Di salah satu hotel melati di sekitaran
Samarinda
Seberang, Ajeng rela melepaskan 'mahkota' miliknya. Selama hampir dua
jam di dalam kamar, Ajeng terpaksa melayani Feri dengan serba
ketidakmampuannya.
Dari kejadian itu, nasib Ajeng berubah
drastis. Rasa ketagihan menghasilkan uang banyak, terus membayang di
kepalanya. Keakraban dengan Erna pun terjalin. Bersama Erna, Ajeng
seperti menemukan kehidupan baru.
Pembagian hasil kerja pun
dinilai adil. Erna mendapatkan komisi 20 persen dari harga "jualan"
Ajeng. Namun Ajeng tetap membayarkan separuh pendapatannya untuk
melunasi utangnya.
Pada bulan Juli, semua utang Ajeng lunas, dan
sudah memiliki sebuah motor bermerek Vega R yang dia beli bekas. “Ajeng
punya HP, punya motor dan sudah berani kos sendiri. Setiap dua hari
sekali ada yang manggil, nomer HP disebar ke mana-mana. Mulai dari
om-om, abang-abang mahasiswa sampai pejabat. Pernah dua kali dipakai
sama pejabat, kepala dinas di lingkungan Pemerintah Kota,” ungkap dia.
Berubah
Penampilannya
pun perlahan diubah, di sekolah mengunakan jilbab, tapi di rumah
menggunakan pakaian mini. Dia tidak lagi menyambangi ayahnya di rumah,
namun sesekali mengunjungi tempat kerja sang ayah.
“Kalau ada uang
lebih, kadang ke bengkel tempat bapak kerja. Belikan bapak makan siang,
atau ngasih uang bapak. Ya enggak banyak sih, paling Rp100–500 ribu.
Bapak tahunya Ajeng kerja jaga warnet, itu juga Ajeng yang ngaku-ngaku,”
ujar dia.
Seiring waktu berjalan, Ajeng sudah mulai marak
dikenal. Semakin berkelas dan lihai. Ajeng tidak lagi sembarang ambil
pesanan. Ajeng hanya mau melayani laki-laki berusia 25 – 34 tahun.
“Maunya sama yang muda, biasanya om-om yang muda itu perkasa. Kalau yang
tua, mintanya dilayani terus,” ungkap dia.
Sampai hari ini, Ajeng
mengaku 'enjoy' menjalani pekerjaannya sebagai gadis panggilan. Dia pun
sama sekali tak takut hamil, karena sedari dini sudah mengikuti program
KB. “Ajeng pakai spiral lo, pakai yang lima tahun, jadi aman dipakai
bertahun-tahun,” kata dia.
Disinggung masalah masa depan, Ajeng
tertawa. Seperti halnya anak gadis pada umumnya, dia juga ingin punya
pekerjaan halal, dilamar lalu menikah. Sayang, hingga saat ini belum ada
laki-laki yang bisa menerimanya. Meski saat ini ada laki-laki yang
ditaksir, namun dia tetap rendah diri untuk mengungkapkan isi hatinya.
“Ajeng
naksir guru matematika di sekolah. Dulu waktu mau berhenti sekolah,
guru itu yang ngasih semangat ke Ajeng. Umurnya baru 26 tahun, tapi
ganteng banget dan baik hati. Seandainya boleh memilih, Ajeng mau dia
yang jadi jodoh Ajeng nanti,” kata dia.
Pembicaraan itu pun
terhenti, karena ponsel Ajeng bordering. Dengan sopan dia menyapa orang
yang menelponnya di seberang sana. “Abang, aku masih ada tamu wawancara.
Ajeng kayak artis nih, sebentar ya bang. Abang tunggu aja di situ,
sekarang Ajeng nyusul,” kata gadis itu.
Dengan terburu-buru, Ajeng
pamit dan meminta dirahasiakan identitasnya. “Ajeng pamit ya, biar
cerita ini bisa jadi pembelajaran. Tapi nama tetap rahasia ya,” pintanya
sembari berlalu.
sumber:http://www.tribunnews.com/regional/2014/09/12/demi-motor-dan-hp-keperawanan-gadis-ini-dijual-rp-3-juta