
Kamar Dagang dan Industri hari Sabtu menggelar jumpa pers. Ada apa di
hari libur Ketua Umum Suryo Bambang Sulisto sampai membuat acara
khusus? Rupanya heboh soal ekspor mineral belum juga usai.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 11 Januari malam memang sudah
menandatangani Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan Pemerintah
itu kemudian menjadi landasan bagi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Keuangan, Perdagangan, dan Perindustrian untuk membuat
peraturan menteri.
Ternyata Peraturan Menteri
Keuangan yang dikeluarkan tanggal 13 Januari membuat para pengusaha
meradang. Besaran bea keluar yang ditetapkan dinilai bukan hanya
mencekik, tetapi membunuh dunia usaha.
Kadin
mengatakan bahwa pengusaha mendukung program hilirisasi yang dicanangkan
pemerintah. Sesuai dengan peraturan presiden yang sudah ditetapkan,
permurnian mineral akan sepenuhnya dijalankan pada tahun 2017.
Dalam proses tiga tahun ke depan, maka pemerintah dan pengusaha harus
membuat peta jalan untuk mencapai tujuan tersebut. Peta jalan harus
memperhatikan keberlangsungan usaha tambang, karena investasi untuk
pemurnian mineral tidaklah murah.
Pembangunan
smelter untuk pemurnian mineral bervariasi dari ratusan juta dollar
hingga miliar dollar. Besaran investasi itu tergantung dari jenis
mineral yang akan dimurnikan.
Kadin berpendapat
bahwa pemerintah harus memberikan insentif untuk investasi tersebut.
Perizinan harus dipermudah, ketersediaan lahan harus dijamin, proses
analisis dampak lingkungan tidak boleh mempersulit, dan ketersediaan
energi terutama listrik harus dipastikan ada.
Pemurnian mineral memang membutuhkan energi yang besar. Untuk satu
smelter diperkirakan dibutuhkan sekitar 200 MW. Pengusaha tambang tidak
mungkin membangun sendiri pembangkit listrik untuk keperluan smelter
yang akan mereka bangun.
Khusus mengenai bea
keluar mineral yang ditetapkan Kementerian Keuangan, Kadin melihat tidak
masuk akal. Dengan besaran bea keluar yang bergerak secara progresif
setiap semester, maka tidak pernah akan ada pengusaha yang membangun
smelter.
Mengapa? Karena dengan besaran mulai
dari 20 persen pada tahun ini hingga 60 persen pada tahun 2016, maka
pengusaha tambang sudah lebih dulu gulung tikar. Nyaris tidak ada lagi
keuntungan yang bisa disisihkan untuk keperluan investasi smelter.
Keluhan pengusaha ini memang masuk akal. Sebab, pengusaha setiap tahun
mereka harus membayar pajak penghasilan yang besarnya 35 persen. Mereka
masih harus membayar pajak dividen sebesar 10 persen. Masih ada Pajak
Pertambahan Nilai yang besarnya 10 persen.
Secara
total pengusaha harus membayar pajak setiap tahunnya sekitar 55 persen.
Kalau kemudian pada tahun 2015 mereka harus membayar bea keluar 50
persen saja, artinya tidak ada keuntungan lagi yang tersisa bagi mereka.
Apalagi ketika tahun 2016 bea keluarnya meningkat menjadi 60 persen.
Kalau kita memang bertujuan memaksimalkan sumber daya alam yang kita
miliki, memang langkah yang ditempuh harus dibuat lebih realitis.
Pemerintah memang harus memaksa pengusaha agar tahun 2017 industri
pemurnian bisa benar-benar terbangun, tetapi pengusaha pun harus diberi
ruang untuk bisa melakukan investasi untuk tujuan itu.
Tanpa ada pendekatan win-win, maka langkah kita untuk memiliki industri
smelter hanya sebuah utopia. Kita membutuhkan modal yang besar untuk
membangun smelter dan itu hanya bisa dilakukan oleh perusahaan yang
sehat.
Tidak ada salahnya kita duduk lagi sama-sama
untuk menetapkan peta jalan membangun industri pemurnian mineral yang
feasible. Sikap untuk saling menang sendiri, akhirnya hanya akan
merugikan kita semua.
Ketidakpastian itu sudah
terjadi sekarang ini. Aktivitas industri pertambangan tersendat karena
ketidakpastian aturan yang membingungkan petugas di lapangan. Suara
Kadin tentunya harus didengar sebelum menimbulkan persoalan yang lebih
besar. (IRIB Indonesia / Metrotvnews / SL)
Read more ...