Bisa dikatakan bahwa kontroversi di media tentang apa yang ada di bawah permukaan Gunung Padang adalah ‘kontroversi ilmiah yang semu’, karena yang di ‘anti-thesis’kan oleh Kelompok ABG hanya berdasarkan opini umum dari mendengar berita hasil penelitian TTRM di media massa atau curi-curi melihat gambar-gambar penampang geolistrik, georadar, dan seismik tomografi. Kelompok ABG belum pernah melihat dan mendengar secara utuh presentasi dari hasil penelitian mutakhir TTRM sehingga sebenarnya terlalu cepat untuk berbeda pendapat.
Lumrah saja kalau ada perbedaan pendapat antara seorang ahli dengan yang lainnya dalam menginterpretasikan hasil survei bawah permukaan, asal masing-masing interpretasi dapat dijustifikasi secara ilmiah, dan itu hanya bisa dilakukan kalau sudah sama-sama melihat datanya dulu secara utuh dan mendiskusikan atau memperdebatkannya dalam forum ilmiah. Dalam forum yang benar, perbedaan interpretasi akan memperkaya dan mempertajam analisis sehingga akan mendapatkan kesimpulan yang lebih baik, bukan malah jadi bahan perpecahan.
Uraian ringkas dari survei pemindaian geofisika bawah permukaan dan data bor adalah sebagai berikut. Terlihat ada lima lapisan dari atas sampai kedalaman 150 meter. Pada penampang geolistrik atau struktur lapisan berdasarkan nilai resistivitas. Survei geolistrik memetakan struktur bawah permukaan ini dengan cara memasukkan arus listrik ke dalam bumi kemudian merekam arus listrik yang kembali ke permukaan pada elektroda-elektroda yang terpasang dengan membawa data resistivitas batuan/tanah yang dilaluinya di bawah permukaan. Resistivitas adalah sifat material untuk tidak menghantarkan arus listrik. Batuan keras, kompak dan padat seperti batuan beku andesit mempunyai nilai resistivitas sangat tinggi sedangkan batuan berpori atau berongga atau didominasi lempung biasanya mempunyai resistivitas rendah. Kandungan air adalah faktor yang sangat berpengaruh. Makin jenuh makin rendah resistivitasnya karena air menghantarkan arus listrik.
Lapisan pertama yang mempunyai nilai resistivitas rendah adalah Situs punden-berundak yang terdiri dari susunan batu-batu kolom andesit-basaltik (columnar joint rocks) beralaskan tanah dan bongkah-bongkah batuan. Di bawahnya ada lapisan kedua dengan resistivitas tinggi, yang merupakan batu-batu kekar kolom tersusun sangat kompak dan diantaranya terisi material halus pejal setebal beberapa meter sampai kedalaman sekitar 5 meter. Lapisan ketiga mempunyai resistivitas sedang, juga tersusun dari batu-batu kekar kolom yang sama tapi posisi kolomnya miring terhadap kedudukan lapisan. Pada radargram dari survei georadar terlihat susunan batu kolom lapisan ketiga ini seperti ‘teranyam’ teratur. Kalau dalam geologi terlihat seperti struktur “cross bedding” dan perlapisan “onlap” dan “offlap”; Namun struktur ini biasanya terdapat pada pengendapan sedimen pasir karena media air atau angin bukan untuk balok-balok batu kekar kolom. Lapisan ketiga tebalnya sekitar 10 meter sampai kedalaman 15 meter dari muka tanah.
Pada kedalaman 15 meter barulah pengeboran menembus formasi batuan alamiah/geologi berupa tubuh batuan lava basaltik masif terkekarkan. Tebal lava mencapai lebih dari 15 meter. Setelah dilakukan grid lintasan geolistrik yang cukup rapat dengan resolusi tinggi (spasing elektroda 2 m) ternyata tubuh ‘lidah’ lava ini tidak begitu saja menclok di atas bukit yang memanjang utara-selatan tapi ditemukan leher ‘intrusi’batuan magmanya di sebelah timur Teras 3 dan 4, tidak di bawah teras-teras situs. Leher intrusi ini kira-kira berdiameter sekitar 15-20 m.
Yang lebih menarik lagi, geometri luar tubuh batuan lava terlihat tidak alamiah tapi seperti sudah dipahat atau dibentuk oleh manusia. Pada penampang geolistrik barat-timur permukaan lava ini berbentuk trapesium selaras dengan morfologi bukit. Lapisan 1,2,3 di atasnya terlihat mengikuti dengan patuh bentuk permukaan lava ini dengan ketebalan yang konstan baik pada lintasan-lintasan penampang arah barat-timur ataupun utara-selatan . Ladi lapisan lapisan ini datar di atas bukit di bawah situs megalitik dan miring sejajar dengan muka tanah di lereng barat dan timur dan utaranya. Yang lebih menarik lagi, lapisan 1,2,3 ini terpancung tiba-tiba secara horizontal pada kedua sisi barat dan timur bukit.
Beda tinggi antara permukaan teras situs di atas dengan horison, lapisan 1,2,3 ini terpancung adalah sekitar 30 meter di semua lintasan geolistrik dari Teras-1 sampai Teras-4, sangat konsisten. Di Teras-5 beda tingginya hanya 20 meter. Dari fakta-fakta ini sangat sukar kalau tidak mustahil bagi siapapun untuk menginterpretasikan bahwa lapisan 1,2,3 adalah lapisan geologi. Jauh lebih masuk akal apabila diinterpretasikan sebagai bangunan berbentuk trapesium memanjang utara-selatan; Jadi bolehlah kalau dibilang mirip piramid terpancungnya Bangsa Maya di Amerika Selatan, dengan catatan bagian sisi selatannya berdinding tegak.
Struktur-Morfologi Permukaan
Stratigrafi Gunung Padang yang berupa bukit lava yang ‘laminasi’ oleh lapisan 1,2,3 dengan ketebalan sama di atas dan dilereng-lerengnya menjawab teka-teki kenampakan bukit Gunung Padang yang dari observasi lapangan dan data topografi detail (TTRM mempunyai data Digital Elevation Map spasi 5 meter) mempunyai relief halus tidak tererosi oleh pola aliran sungai (stream head erosions) kontras dengan bukit-bukit di sekitarnya, termasuk relief kasar dari perbukitan yang lebih tinggi berbentuk bulan sabit, Emped-Karuhun, di selatan yang sudah tererosi tahap lanjut sampai ke level puncaknya . Ini menandakan bahwa batuan penyusun bukit situs Gunung Padang jauh lebih muda umur (erosi) nya. Struktur dan stratigrafi Gunung Padang menjawab anomali ini. Kalau lapisan-lapisan batuannya seumur dengan sekitarnya, yaitu jutaan-puluhan juta tahun, lapisan-lapisan tersebut sudah banyak yang tererosi habis, mungkin sampai tersingkap ke tubuh batuan lavanya.
Menarik membaca analisis seorang geolog dari kelompok ABG yang membahas bentukan piramida alam yang dihasilkan oleh proses erosi alamiah (Kolom GATRA 14 Januari –Budi Brahmantyo). Ini adalah bentukan morfologi alam hasil proses destruktif. Prinsip geomorfologi ini biasa diajarkan dimata kuliah S-1 geologi. Salah sasaran kalau dikaitkan dengan kasus Gunung Padang karena bukit Gunung Padang adalah bentukan morfologi konstruktif yang tahapan erosinya masih rendah. Geolog itu tidak salah hanya mungkin belum melakukan analisis dari data topografi resolusi tinggi dan juga tidak tahu data stratigrafi bawah permukaannya. “The devils is in details” kata pemeo dunia akademis di barat.
Bukti Ada Ruang & Lorong
Di dalam lapisan keempat atau tubuh batuan lava berbentuk trapesium tersebut terlihat kenampakan lorong dan ruang besar. Bukti lorong dan ruang diinterpretasikan terutama dari anomali zona resistivitas yang ekstrem sampai puluhan ribu ohm meter yang batasnya tegas dengan nilai resistivitas sekeliling yang hanya ribuan ohm meter (tubuh batuan lava). Di samping itu, ada kenampakan zona anomali dengan resistivitas rendah hanya puluhan--ratusan ohm meter di dalam tubuh lava yang juga dapat diinterpretasikan sebagai ruang atau lorong tapi sudah terisi tanah dan/atau air.
Memang anomali resistivitas ekstrem ini tidak harus ruang tapi bisa juga tubuh batuan yang amat sangat padat, tidak berpori. Akan tetapi, salah satu lintasan seismik tomografi pada salah satu zona yang diduga lorong memperlihatkan zona dengan anomali seismik berkecepatan rendah (low seismic velocity zone) yang mengindikasikan ruang bukan padat. Metoda seismik tomografi adalah teknik pemindaian struktur bawah permukaan dengan menggunakan sumber gelombang suara yang masuk ke dalam tanah sehingga akan merambat dan terpantul kembali ke permukaan sehingga sinyal yang membawa informasi struktur bawah permukaan berdasarkan kecepatan rambat gelombangnya yang berbeda diberbagai lapisan dapat direkam oleh sensor geofon yang terpasang di permukaan tanah. Mirip dengan metoda georadar, hanya dalam georadar dipakai sumber gelombang elektro magnetik. Dalam survei seismik dipakai sumber suara adalah pukulan palu besar dan bunyi petasan. Sangat aman dan dijamin tidak merusak.
Bukti penunjang lain adalah dari pengeboran. Ketika dilakukan dua kali pengeboran di dekat lokasi dugaan ada ruang bawah tanah terjadi “water loss”, air yang dipaki untuk sirkulasi bor tiba-tiba amblas tidak balik lagi ke atas pada kira-kira kedalaman yang sama, 8--10 meteran. Yang pertama hanya “partial water loss” 1 drum air, yang kedua kalinya di lokasi berjarak 10 meter dari yang pertama terjadi “total water loss” air sirkulasi yang masuk tidak kembali lagi, banyak sekali, kira-kira volumenya mencapai 30 meter kubik.
Sebagian ahli ada yang mengatakan bahwa lorong dan ruang itu bisa saja gua alamiah, yaitu lorong lava (lava tunnel) yang terjadi ketika cairan lava panas membeku bagian dalamnya masih terdapat cairan panas yang mengalir membentuk lorong. Satu sanggahan ilmiah yang masuk akal. Namun, perlu diketahui juga bahwa bentukan lorong dan ruang yang terlihat banyak yang sukar dijelaskan oleh proses alamiah ini, misalnya, terlihat bentuk yang cenderung ke kubus atau lorong yang tinggi dan sempit, atau ada seperti lorong masuk dari samping luar. Kemudian, posisi dan dimensi dari dugaan ruang dan lorong ini dari cita rasa arsitek terlihat pas dengan bentuk bangunannya. Jadi, kalaupun asalnya “lava tunnel” kelihatannya sudah dibentuk ulang oleh manusia.
Mungkin uraian di atas masih agak susah dicerna karena memang perlu banyak ilustrasi dan penjelasan lebih detil. Tapi mudah-mudahan dapat dipahami bahwa hasil penelitian TTRM di Gunung Padang berdasarkan data yang sudah rinci dan komprehensif bukan asal-asalan apalagi menuduh dilakukan oleh para peneliti abal-abal, masya Allah.
Umur Lapisan
Yang lebih kontroversial lagi adalah hasil karbon dating TTRM untuk penentuan umur dari lapisan-lapisan fitur bangunan tersebut. Analisis radiometric dating dari sampel karbon yang diambil dilakukan di Badan Tenaga Atom (Batan) dan BETA Analytic USA yang terakreditisasi secara internasional. Sampel-sampel diambil secara terpilih dan sistematik dari lubang eskavasi dan sampel bor dari permukaan sampai kedalaman 12 meter. Kelompok ABG tidak melakukan uji karbon dating untuk menentukan umur situs, kecuali umur relatif dari perkiraan berdasarkan perbandingan terhadap stratigrafi sejarah budaya yang ada. Jadi, sebenarnya kurang sebanding untuk dikontroversikan karena hanya TTRM yang punya data umur absolut. Nanti orang bilang seperti membandingkan jeruk dengan apel.
Ringkasan hasil analisis karbon dating adalah sebagai berikut. Hasil dating dari karbon yang terkandung pada lapisan tanah pertama memberikan kisaran umur kalender (sudah dikoreksi) 2.500 sampai 3.500 tahunan (500—1.500 tahun Sebelum Masehi). Sampel karbon dari sisipan tanah di antara batu-batu kolom pada lapisan kedua dan juga kandungan karbon pada hamparan pasir kerikil memberikan kisarn umur kalender 6.700 sampai 7.000 tahunan (4.700 sampai 5.000 tahun SM). Sampel tanah dari isian diantara batu-batu kolom lapisan ketiga di bawahnya memberikan kisaran umur cukup bervariasi antara 13.000 sampai 25.000 tahun lalu (11.000 sampai 23.000 tahun SM), sedangkan umur dari sampel tanah timbun yang diduga langsung di atas lapisan ketiga adalah sekitar 10.000 tahun. Umur-umur lapisan terlihat konsisten. Variasi umur karbon pada tanah di lapisan ketiga patut dicurigai mempunyai ketidakpastian besar karena berbagai faktor, bukan diinterpretasikan sebagai kisaran umur yang sebenarnya. Akan tetapi, paling tidak umurnya harus lebih tua dari tanah yang menimbunnya, yaitu 10.000 tahun lalu.
Penentuan umur metoda karbon dating harus benar-benar teliti dan tahu sampel apa yang diambil, bukan perkara mudah. “Batch” analisis karbon dating yang sudah dilakukan belum yang terbaik karena pemilihan sampel-sampel lokasinya masih hanya pada beberapa lubang galian dan sampel bor. Kita bertekad melakukan analisis dengan sebaik mungkin karena dampak dari hasil analisis umur sangat besar. Mengatakan bahwa ada bangunan konstruksi maju dengan umur lebih dari 10.000 tahun sama saja dengan bilang bahwa sejarah peradaban manusia yang diyakini para ahli bukan saja di Indonesia tetapi di seluruh dunia salah atau perlu dimodifikasi. Jadi, tidak pelak lagi bahwa setiap kelemahan dalam analisis nanti akan dicecar habis oleh para ahli se-dunia. Bukannya mereka berniat jahat, melainkan sifat dunia ilmiah pada dasarnya skeptis, tidak mudah percaya sebelum benar-benar teruji, apalagi ini menyangkut satu konsep besar yang sudah mendarah daging diyakini umat.
Implikasi Hasil Penelitian
Pengetahuan dunia saat ini hanya mengakui bahwa perkembangan peradaban manusia baru mulai sejak sekitar 11.000 tahun lalu. Produk peradaban maju baru terlihat setelah 6.000 tahun lalu (4.000 tahun SM), seperti peninggalan Bangsa Sumeria di Mesopotamia. Kontras dengan masa sejarah yang relatif pendek, dunia ahli geologi dan arkeologi menggetahui bahwa manusia modern sudah ada sejak sekitar 195.0000 tahun lalu. Artinya, dunia meyakini bahwa manusia tetap dalam zaman primitif, hidup berburu dan tidur di hutan dan gua-gua selama 185.000 tahun lamanya. Akan tetapi, tiba-tiba sejak 10.000 tahun lalu tanpa sebab yang diketahui mendadak pintar.
Temuan konstruksi bangunan besar yang lebih tua dari 10.000 tahun seperti di Gunung Padang kontradiktif dengan dogma ilmiah saat ini. Apalagi, untuk Indonesia yang masa sejarahnya baru dimulai sejak 400 Masehi. Tidak heran kalau seorang sejarawan dari kelompok ABG ini mengatakan bahwa temuan ini mustahil karena kalau data populasi masyarakat Cianjur diektrapolasikan ke zaman pra-sejarah maka hanya sedikit orang nya sehingga tidak mungkin mampu membuat bangunan besar (GATRA). Pemikiran logis tapi terlalu lugu karena hanya benar jika diasumsikan masyarakat prasejarah tidak pergi dari Cianjur atau musnah karena suatu bencana besar.
Konsep siklus bencana alam katastrofi bukan hal baru dalam geologi. Bencana katastrofi yang paling terkenal terjadi dalam masa hidup manusia modern adalah letusan katastrofi Toba sekitar 70.000 tahun lalu yang diduga hampir memusnahkan seluruh populasi manusia di dunia, konon yang tinggal hidup hanya beberapa ribu orang saja. Peristiwa ini konsisten dengan kronologi penyebaran manusia di bumi yang dapat ditelusuri terjadi sejak sekitar 70.000 tahun lalu, terkenal disebut sebagai “out of africa’ karena mulai menyebar dari Benua Afrika.
Hipotesis yang dikembangkan ketika membentuk Tim Katastrofi Purba bahwa perkembangan peradaban/kebudayaan di dunia tidak menerus tetapi ‘siklus’, artinya berkali-kali terputus atau hancur oleh berbagai bencana alam katastrofi sehingga peradaban yang sudah maju bisa kembali menjadi primitif lagi dan kemudian harus merangkak lagi untuk berkembang. Dengan kata lain sejarah awal perkembangan peradaban kita sejak 11.000 tahun lalu boleh jadi bukan satu-satunya peradaban, melainkan hanya siklus peradaban setelah terjadi bencana katastrofi.
Dalam sejarah Geologi Kuarter dikenal perioda Younger Dryas (12.900--11.600 tahun lalu) di akhir zaman Pleistosen. Sejak puncak zaman Glasial, 20.000 tahun lalu, bumi memanas dan es mencair. Namun, suhu bumi turun tiba-tiba kembali anjlog seperti zaman es pada awal YD selama 1.300 tahun. Younger Dryas (YD) diakhiri dengan naiknya suhu bumi yang juga sangat cepat bahkan bisa jadi instan sampai 5--10 derajat Celsius sehingga es mencair mendadak menimbulkan banjir global. Disinyalir juga bahwa pembebanan permukaan bumi tiba-tiba oleh massa air dapat memicu gempa dan letusan gunung api karena kestabilan kerak bumi terganggu. Penyebab terjadinya YD sampai sekarang belum diketahui, masih kontroversi. Diantaranya para peneliti dunia seperti Prof. Dr. Robert Scoch (USA) dan Graham Hancock (UK) yang hadir sebagai pembicara utama dalam Seminar Gunung Padang di Acara Gotra Sawala, 5--6 Desember 2013, mengajukan hipotesis bahwa penyebab terjadinya awal dan akhir YD adalah tumbukan meteor dan badai plasma matahari.
Perkara apakah peristiwa banjir global pada akhir YD atau awal Zaman Holosen tersebut tersebut ada hubungannya dengan banyaknya mitos bencana banjir besar di seluruh dunia, atau dengan banjir Nabi Nuh, atau barangkali juga banjir besar yang konon menurut naskah Timaeus dan Critiasnya Plato menenggelamkan Kerajaan Atlantis, Wallahu alam... Barangkali topik ini bisa dijadikan bahan banyak disertasi di bidang arkeologi, geologi kuarter atau penelitian iklim dan bencana purba.
Jadi, materi dasar yang dikontroversikan dalam penelitian Gunung Padang sebenarnya biasa saja, tidak sulit-sulit amat, tapi implikasinya terhadap ilmu pengetahuan memang luarbiasa. Bahkan kelihatannya thesis tentang peradaban maju di zaman es yang hilang karena bencana katastrofi masih dianggap tabu oleh dunia pengetahuan. Ini jelas riset yang berat, tidak main-main.
Masih untung situs Gunung Padang bukan satu-satunya kasus. Ada Situs Gobekli Tepe di Turki, yaitu situs megalitik besar yang asalnya tertimbun tanah di bawah bukit, mirip dengan Gunung Padang tapi bentuk konstruksinya jauh berbeda. Bangunan Gobekli Tepe ini juga pembangunannya bertahap dari zaman ke zaman. Lapisan yang paling tua yang sudah digali berumur sekitar 11.600 tahun. Situs ini terdiri dari batu-batu menhir masif besar yang terukir sangat bagus di dalam lingkaran-lingkaran bangunan batu. Singkatnya bangunan Gobekli tepe tidak mungkin dibuat oleh masyarakat berbudaya primitif tapi sudah berbudaya tinggi. Menariknya, Situs Gobekli Tepe juga ditimbun dengan tanah dan batu dengan sengaja pada sekitar 9600 tahun lalu dengan alasan yang masih misterius, terutama karena pekerjaan menimbunnya sama sulitnya dibanding dengan membangunnya. Inilah satu-satunya situs besar bangunan kuno di dunia yang umurnya dapat disebandingkan dengan Situs Gunung Padang lapisan ketiga.
Bayangkan, apabila keberadaan bangunan dan umur-umurnya nanti dapat diverifikasi lebih lanjut dan diakui dunia, maka situs Gunung Padang akan menjadi monumen agung tertua, saksi dari perkembangan sejarah peradaban yang hilang.
Ilmiah itu cantik dan baik hati. Janganlah niat suci dikotori oleh permainan politik untuk kepentingan perorangan atau kelompok. Kita semua berharap penelitian Gunung Padang dapat dituntaskan, mudah-mudahan dapat melibatkan lebih banyak lagi para ahli terbaik bangsa dari berbagai kalangan dan disiplin ilmu sehingga, insya Allah, Situs Gunung Padang dapat diwujudkan menjadi situs luar biasa kebanggaan Indonesia hasil kerja keras putra bangsa. Harapan berikutnya, mudah-mudahan Gunung Padang bukan temuan terakhir tapi awal dari temuan-temuan besar selanjutnya yang siapa tahu ada yang lebih dahsyat. Wallahualam bissawab. (SELESAI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.